Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Pilih Sendiri Surga Mana Yang Kamu Suka

Oleh: Fuad Al Hazimi


Pilih Sendiri Surgamu

يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ

اقْرَأْ وَارْقَ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا

“Dikatakan kepada shahibul Qur'an , bacalah dan tingkatkanlah bacaanmu serta bacalah dengan tartil seperti engkau membacanya dengan tartil ketika di dunia karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca.” (Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’I, Tirmidzi berkata, hadits hasan shahih)

Shahibul Qur'an bukan sekedar membaca Al Qur'an tetapi tidak memahami isinya dan bahkan bertentangan antara kehidupannya dengan kandungan dan isi Al Qur'an yg dibacanya. Shahibul Qur'an adalah orang yang membacanya, menghafalkannya, mentadabburinya, memahami isinya, berakhlaq dengan akhlaq Al Qur'an, menghalalkan yg dihalalkan Al Qur'an dan mengharamkan yang diharamkannya. Patuh pada yang muhkamat dan beriman terhadap yang mutasyabihat. Memahami tafsir Al Qur'an, hukum-hukum syari'ah dalam Al Qur'an dan menjadikannya sebagai pedoman hidup, undang-undang dasarnya dan sebagai Imam atau pemimpin bagi kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inilah di antara makna Ahul Qur'an atau Shahibul Qur'an.

Orang seperti ini yang sehari-harinya lisannya tidak pernah kering dari bacaan Al Qur'an dan akhlaknya adalah perwujudan dari Al Qur'an, yang diberi kehormatan "memilih" surga mana yang ia suka.

Allahumma ij'alnaa min ahlil Qur'an alladziina hum ahluka khashshsatuka : Ya Allah jadikanlah kami sebagai Ahlul Qur'an yang merupakan "ahli (orang terdekat) Mu dan orang-orang pilihan-Mu"

KEUTAMAAN MEMBACA DAN MENGKAJI AL QUR’AN

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. (QS Fathir 29-30)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal”. (QS Al Anfal 2)

"Sesungguhnya orang yang benar-benar beriman kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong". (QS As Sajdah 15)

"Sebaik-baik kalian adalah mereka yang belajar Al Qur'an dan mengajarkannya" (HR. Bukhari dan Muslim)

“Orang yang mahir membaca Al Qur’an ia bersama-sama dengan para utusan yang mulia lagi terpuji (para malaikat). Sedangkan orang yang membaca Al Qur’an, tetapi dia tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan nampak agak berat lidahnya (belum lancar), dia akan mendapat dua pahala.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

“Sesungguhnya Allah Ta’alaa mengangkat derajat beberapa golongan manusia dengan Kalam ini (Al Qur’an) dan merendahkan derajat golongan lainnya.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

“Bacalah Al-Qur’an karena dia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya.” (Riwayat Muslim)

“Barangsiapa membaca satu huruf Kitab Allah, maka dia mendapat pahala satu kebaikan sedangkan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf, tetapi Alif, satu huruf dan Lam satu huruf serta Mim satu huruf.” (Riwayat Tirmidzi dan katanya: hadits Hasan Shahih)

“Sesungguhnya orang yang tidak terdapat dalam rongga badannya sesuatu dari Al-Qur’an adalah seperti rumah yang roboh.” (Riwayat Tirmidzi dan katanya: hadits hasan sahih)

MINTALAH DENGAN AL QUR'AN ALLAH BERIKAN APA YG TDK DIBERIKAN KPD MEREKA YG MEMINTA

Allah Berfirman dalam Hadits Qudsy : “Barangsiapa disibukkan dengan mengkaji Al Qur’an dan menyebut nama-Ku (berdzikir), sehingga tidak sempat meminta kepada-Ku, maka Aku berikan kepadanya sebaik-baik pemberian yang Aku berikan kepada orang orang yang meminta. Dan keutamaan kalam Allah atas perkataan lainnya adalah seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya”. (Riwayat Tirmidzi dan katanya: hadits hasan)

Rasulullah bersabda : “Di hari kiamat nanti Al Qur’an akan datang menemani kita (ahlul Qur’an) seraya berkata : “Ya Rabbi, pakaikanlah untuknya mahkota kemulyaan, lalu ia pun diberi mahkota kemulyaan. Lalu Al Qur’an berkata : “Ya Allah tambahkan lagi”. Maka kemudian dikenakanlah padanya pakaian kemulyaan”. Lalu Al Qur’an berkata “Ya Rabb limpahkan keridhoan-Mu padanya. Lalu Allah pun ridho atasnya. Lalu dikatakan kepadaya : “Bacalah, dan tingkatkan bacaanmu, niscaya akan ditambahkan kepadamu satu kebajikan dalam setiap satu ayat”. (HR Tirmidzi dengan sanad Hasan Shahih)

Al QUR'AN ADALAH PENYEMBUH

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS Al Isra' 82)

“Bacalah Al Qur’an karena Allah tidak menyiksa hati yang menghayati Al Qur’an”. (HR Ibnu Abi Dawud dengan sanad Shahih)

DO’A PARA PECINTA AL QUR’AN

Rasulullah bersabda :

“Barangsiapa yang sedang mendapatkan musibah, kesedihan hati dan kegundahan jiwa kemudian membaca do’a ini pastilah Allah akan menghilangkan semua kesedihan dan kesulitannya serta menggantikan dengan jalan keluar baginya”.

اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قُلُوْبِناَ، وَنُوْرَ صُدُوْرِناَ، وَجَلاَءَ أَحْزَانِناَ، وَذَهَابَ هُمُوْمِناَ

“Ya Allah jadikanlah Al Qur’an sebagai penyejuk hati kami, cahaya yang menyinari dada kami, pelipur duka kami dan penghapus kesedihan kami”.

Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah“Ya Rasulallah, bolehkah kami menghafalkannya ?”.

Beliau menjawab : “Aku anjurkan bagi yang mendengarnya agar menghafalkan (dan mengamalkannya)”.

(HR. Hakim dalam Al Mustadrak, beliau berkata : Hadits ini Shahih dengan persyaratan Imam Muslim)

اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ مِمَّنْ يُحِلُّ حَلاَلَهُ وَيُحَرِّمُ حَرَامَهُ، وَيَعْمَلُ بِمُحْكَمِهِ وَيُؤْمِنُ بِمُتَشَابِهِهِ، وَيَتْلُوْهُ حَقَّ تِلاَوَتِه

Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang menghalalkan yang diharamkan Al Qur'an dan mengharamkan yang dihalalkannya, mengamalkan yang telah muhkam (pasti hukumnya) dan beriman dengan yang Mutasyabihat (masih samar-samar maknanya, dan hanya Allah yang Mengetahuinya) serta membacanya dengan bacaan sungguh-sungguh"

اَللَّهُمَّ ارْحَمْناَ بِالْقُرْآنْ، وَاجْعَلْهُ لَناَ إِماَماً وَنُوْراً وَهُدًى وَرَحْمَةْ . اَللَّهُمَّ ذَكِّرْناَ مِنْهُ ماَ نَسِيْناَ، وَعَلِّمْناَ مِنْهُ ماَ جَهِلْناَ، وَارْزُقْنـاَ تِلاَوَتَهُ آناَءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهاَرْ، وَاجْعَلْهُ لَناَ حُجَّةً، ياَ رَبَّ الْعاَلمَيِنْ.

Ya Allah limpahkanlah kasih sayang-Mu kepada kami dengan (melalui) Al Qur’an, jadikanlah ia sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk dan rahmat bagi kami. Ya Allah ingatkanlah apa-apa yang kami lupa darinya, ajarkanlah yang kami tidak tahu, dan limpahkanlah rizki kepada kami (dalam bentuk) membacanya sepanjang siang dan malam hari. Dan jadikanlah ia pembela kami di hari kiamat nanti, wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang“Ya Allah limpahkanlah kasih sayang-Mu kepada kami dengan”.

CATATAN :

Bagi yg ANTI SYARI'AH ISLAM JANGAN BACA DO'A INI, karena menjadikan Al Qur'an sebagai pemimpin berarti menerapkan Syari'ah Allah dalam kehidupannya.

Kamilah yang Telah Berbai’at kepada Muhammad untuk Terus Berjihad Selama Nyawa Masih Dikandung Jasad

Hari itu udara sangat dingin menusuk tulang, rasa lapar mendera Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam dan para shahabat di tengah kekhawatiran akan datangnya musuh yang setiap saat dapat menyerang, para shahabat bahu membahu menggali parit perlindungan di sekeliling Madinah sebagaimana usulan Salman Al Farisi Radhiyallohu 'anhu . Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam memerintahkan setiap sepuluh orang shahabat agar menggali sepanjang 40 hasta (-+ 30 meter).

Saat itu musuh yang berjumlah lebih dari sepuluh ribu pasukan koalisi (Ahzab) tengah mengepung kota Madinah. Tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali mempertahankan Madinah sampai titik darah penghabisan. Dalam kondisi yang demikian mencekam ini, Rasulullah dan para shahabat beliau masih dibayang-bayangi rasa khawatir akan adanya kemungkinan pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraidhah yang saat itu tinggal di dalam kota Madinah dan mengikat perjanjian damai dengan Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam.

Saking dinginnya udara dan kuatnya deraan rasa lapar, tidak sedikit dari para shahabat yang mengganjal perut mereka dengan batu yang diikatkan ke perut mereka. Bahkan Rasulullah pun melakukan hal yang sama. Beratnya rasa lapar ini dikisahkan oleh Anas bin Malik yang saat itu ikut menggali parit :

“Mereka hanya memiliki sebanyak dua telapak tangan gandum yang mereka masak hingga mengembang lalu mereka letakkan di atas nampan kemudian dikelilingkan di antara mereka agar mereka dapat mencium baunya dan sedikit menghikangkan rasa lapar mereka”. (HR Bukhari) Allahu akbar walillahil hamd…!!!

Namun demikian, semua itu tidak mengurangi ketaatan dan semangat mereka menggali parit perlindungan di sekeliling Madinah sebagaimana diperintahkan oleh panglima perang dan amir mereka Muhammad Shollallohu 'alaihi wa Sallam.

Menyaksikan itu semua, Rasulullah berdo’a kepada Allah :

اللَّهُمَّ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الآخِرَهْ فَاغْفِرْ لِلأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ

“Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirah (akhirat),

maka ampunilah dosa kaum Anshar dan Muhajirah (Muhajirin)”.

Mendengar do’a Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam serta merta para shahabat Anshar dan Muhajirin menjawab dengan serempak :

نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِينَا أَبَدًا

“Kamilah yang telah berbai’at kepada Muhammad

Untuk terus berjihad selama nyawa masih di kandung jasad”.

(Shahih Bukhari juz 10 hal 257, Ar Rakhiqul Makhtum hal 269, Shiroh Ibnu Katsir juz 3 hal 184)

Melihat kondisi kaum muslimin yang sudah terkepung sekian lama di dalam kota Madinah, sehingga kelaparan mulai menyiksa hampir seluruh penduduk Madinah, sementara di saat yang sama, kaum Yahudi Bani Quraidzah dan Bani Ghathafan sudah nyata-nyata mengkhianati Rasulullah dan membantu kaum musyrik Quraisy, maka Rasulullah berusaha keras mencari siasat dan taktik yang jitu untuk mengalahkan pasukan koalisi tersebut. Beliau lalu memanggil para shahabatnya untuk bermusyawarah.

Maka berdiri lah Nuaim bin Mas’ud bin Amir, salah seorang dari Bani Ghathafan yang sudah masuk Islam namun tidak ada seorang pun dari kaumnya yang mengetahui keislamannya. Mereka mengira Nuaim masih beragama yahudi dan mendukung pengkhianatan mereka terhadap Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam. Dengan keadaannya yang demikian ini Nuaim Radhiyallohu 'anhu ingin melakukan strategi memecah-belah kekuatan musuh. Ia berkata kepada Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam :

“Ya Rasulullah, kini aku sudah masuk Islam (sedangkan mereka tidak tahu tentang hal ini) maka perintahkan kepadaku apapun yang engkau mau (demi kemenangan Islam)”.

Rasulullah bersabda :

“Wahai Nuaim, engkau hanya seorang diri (di tengah-tengah ribuan musuh) maka lakukanlah tipu muslihat dan strategi apapun yang bisa engkau lakukan demi kemenangan kita, sesungguhnya perang ada tipu muslihat”.

Nu'aim bin Mas'ud pun bergegas pergi menemui kaum Yahudi bani Quraidzah, yang belum mengetahui bahwa dia sudah masuk Islam. Pada zaman jahiliyah ia bergaul rapat sekali dengan mereka. Diingatkannya kembali hubungan dan persahabatan mereka masa dahulu itu. Kemudian disebut-sebutnya juga bahwa mereka telah mendukung suku Quraisy dan Ghathafan dalam menghadapi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa Sallam, sedangkan suku Quraisy maupun Ghathafan mungkin tidak akan tahan lama tinggal di tempat itu. Kedua kabilah ini tentu akan berangkat pulang, dan mereka akan ditinggalkan sendirian menghadapi kaum muslimin yang tentunya nanti akan menghajar mereka pula. Oleh karena itu dinasehatinya supaya mereka jangan mau ikut golongan itu sebelum mendapatkan sandera beberapa orang dari pimpinan mereka sebagai jaminan dari kedua suku itu. Dengan demikian Quraisy dan Ghathafan tidak akan meninggalkan mereka. Kaum Yahudi bani Quraidzah merasa puas dengan keterangan Nu'aim bin Mas’ud tersebut.

Selanjutnya Nu'aim bin Mas'ud pergi lagi menemui para pembesar suku Quraisy dengan membisikkan, bahwa sebenarnya pihak Bani Quraidzah merasa menyesal sekali atas tindakannya melanggar perjanjian dengan Muhammad dan pengikutnya dan bahwa mereka sekarang berusaha hendak mengambil hati Muhammad dan mengadakan perjanjian damai lagi dengan jalan hendak menyerahkan pemimpin-pemimpin Quraisy kepadanya untuk dijadikan sandera atau dibunuh. Oleh karena itu lalu disarankannya, bahwa bilamana nanti pihak Yahudi Bani Quraidzah mengutus orang meminta beberapa orang pemimpin Quraisy untuk dijadikan jaminan, jangan dikabulkan, karena sebenarnya mereka akan diserahkan kepada Muhammad dan pengikutnya.

Seperti halnya terhadap Quraisy, kemudian Nu'aim melakukan hal yang sama pula terhadap Bani Ghathafan. Keterangan Nu'aim ini telah menimbulkan keraguan dalam hati para pemimpin suku Quraisy dan Bani Ghathafan.

Maka para pembesar musyrikin Quraisy pun segera berunding. Abu Sufyan lalu mengutus orang menemui pemimpin Bani Quraidzah dengan pesan : "Kami sudah cukup lama tinggal di tempat ini dan mengepung Muhammad dan para pengikutnya. Menurut pendapat kami, besok pagi kalian harus sudah menyerbu Muhammad dan kami dibelakang kalian."

Tetapi utusan Abu Sufyan itu kembali dengan membawa jawaban dari pemimpin Bani Quraidzah : "Besok adalah hari Sabtu, dan pada hari Sabtu itu kami tidak dapat berperang atau bekerja apa pun."

Serasa tersentak, Abu Sufyan naik pitam. Utusan itu disuruhnya kembali dengan mengatakan kepada pihak bani Quraidzah : "Cari Sabtu-sabtu lain saja sebagai pengganti Sabtu besok, sebab besok Muhammad harus sudah diserbu. Kalau kami sudah mulai menyerang Muhammad sedang kamu tidak ikut serta dengan kami, maka persekutuan kita dengan sendirinya bubar, dan kamulah yang akan kami serbu lebih dulu sebelum Muhammad."

Pernyataan Abu Sufyan itu oleh kaum Yahudi Bani Quraidzah tetap dijawab dengan mengulangi bahwa mereka tidak akan melanggar hari Sabtu. Ada golongan mereka yang telah mendapat kemurkaan Allah karena telah melanggar hari Sabtu sehingga mereka itu menjadi monyet dan babi. Kemudian disebutnya juga jaminan yang mereka minta sebagai sandera, supaya mereka lebih yakin akan perjuangan mereka itu.

Mendengar permintaan semacam itu Abu Sufyan lebih yakin lagi akan keterangan yang telah diberikan Nu'aim itu. Terpikir olehnya sekarang apa yang harus diperbuatnya. Ketika hal ini dibicarakan dengan pihak Bani Ghathafan ternyata mereka juga masih ragu-ragu hendak memerangi Muhammad dan pengikutnya. Mereka sebenarnya sudah mulai jemu dan kelelahan, karena begitu lama mereka mengadakan pengepungan dengan segala jerih payah yang mereka hadapi selama itu. Mereka melakukan semua ini hanya karena memenuhi ajakan Huyayy bin Akhtab dan orang-orang Yahudi yang menjadi pengikutnya. Di samping itu mereka juga sudah mulai terpengaruh dengan janji yang pernah diberikan Muhammad kepada mereka, bahwa sepertiga hasil perkebunan kota Madinah nanti untuk mereka dengan syarat mereka mau berhenti melakukan pengepungan dan kembali ke kampungnya.

Sebagai salah satu strategi memecah belah kekuatan musuh, Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam memang telah mengirimkan utusan kepada kaum Yahudi Bani Ghathafan yang menjanjikan sepertiga hasil perkebunan Madinah untuk mereka jika mereka mau menghentikan pengepungan. (Zaadul Ma’ad juz 3 hal 240, Ar Rakhiqul Makhtum hal 271, Shiroh Ibnu Katsir juz 3 hal 214, Shiroh Ibnu Hisyam juz 2 hal 228)

Hingga sampailah di suatu malam yang gelap gulita di mana seseorang tak lagi dapat melihat tangannya sendiri. Udara begitu dingin luar biasa disertai angin badai yang bertiup kencang serasa hendak menyapu apapun yang di depannya, Rasulullah mengumumkan sebuah tawaran tiket menuju surga Firdaus bersama beliau Shollallohu 'alaihi wa Sallam.

Sebagaimana dikisahkan oleh Shahabat Hudzaifah Ibnul Yaman, beliau bersabda :

“Siapa di antara kalian yang bersedia menyelinap dan menyusup ke dalam pasukan Ahzab lalu melaporkan keadaan mereka kepadaku ? Tapi dengan satu syarat, ia harus kembali kepadaku apapun yang terjadi. Niscaya aku akan meminta kepada Rabb-ku agar ia menjadi teman karibku nanti di surga Firdaus”

Namun tak seorang pun di antara shahabat beliau yang beranjak dari tempat duduknya menyambut tawaran beliau Shollallohu 'alaihi wa Sallam, karena suasana yang amat sangat mencekam dan kelaparan yang hampir-hampir tidak dapat lagi tertahankan.

Melihat tidak ada satu pun yang berdiri, Rasulullah lalu memanggilku (Hudzaifah), rasanya tidak ada alasan buatku untuk menolak panggilan Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam. Beliau bersabda : “Wahai Hudzaifah pergilah engkau dan menyusup ke dalam pasukan Ahzab lalu laporkan keadaan mereka kepadaku dan ingat, jangan melakukan tindakan apapun sampai engkau menemuiku kembali”.

Akhirnya Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallohu 'anhu pun menyusup ke tengah-tengah musuh demi melaksanakan perintah Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam walaupun dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit dan penuh bahaya.

Hudzaifah melanjutkan : “Saat itu aku sudah berada di tengah-tengah pasukan Ahzab, sementara angin dan badai mulai menghebat. Tentara Allah itu memporak-porandakan periuk dan peralatan makan mereka. Demikian pula api unggun dan kemah mereka telah berantakan rata dengan tanah. Abu Sufyan bin Harb (panglima pasukan Ahzab) berkata, : “Wahai kaum Quraisy, hendaknya setiap orang dari kalian melihat siapa teman duduk di sebelahnya”.

Hudzaifah melanjutkan ceritanya : “(sebelum didahului pertanyaan) Aku segera memegang tangan orang di sebelahku dan bertanya, 'Siapa kamu?' Dia berkata : 'Saya Fulan bin Fulan.' Kemudian Abu Sufyan berkata : 'Wahai sekalian Quraisy, demi Allah, sesungguhnya kalian tidak berada di tempat yang aman. Perbekalan kita telah musnah, sedangkan Bani Quraizhah telah mengkhianati kita. Sudah sampai kepada kita berita yang tidak kita sukai. Dan kitapun dihantam oleh angin kencang ini seperti yang kalian lihat. Demi Allah, periuk tidak lagi tempatnya, api unggun juga sudah padam semuanya, tenda-tenda kita roboh berserakan, maka pulanglah kalian. Karena sesungguhnya aku juga akan pulang”.

Abu Sufyan menghampiri untanya yang tertambat, lalu duduk di atasnya. Setelah itu dia memukulnya hingga unta itu bangkit seiring dengan lepasnya tali ikatan. Pasukan Ahzab pimpinannya juga lari tunggang langgang dengan kekalahan.

Hudzaifah lalu berkata : “Kalau bukan karena janjiku kepada Rasulullah agar jangan berbuat sesuatu sampai aku menemui beliau, tentu aku akan memanahnya sampai mati."

“Kemudian aku kembali menemui Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam yang sedang shalat dengan kain selimut bergaris milik salah seorang istrinya. Melihat kedatanganku, beliau memasukkan aku ke dalam kemahnya dan menghamparkan ujung selimut itu untukku, sementara beliau masih melanjutkan rukuk dan sujudnya. Setelah selesai salam, aku pun menceritakan hasilnya kepada beliau." (Musnad Ahmad juz 5 hal 392, Shiroh Ibnu Katsir juz 3 hal 218, Shiroh Ibnu Hisyam juz 2 hal 231, Umdatul Qaari Syarah Shahih Bukhari juz 21 hal 303)


dikutip dari sebuah catatan Ustadz Fuad Al Hazimi

Hormat Bendera, Kilasan Sejarah dan Hukumnya

Oleh : KHE Abdullah

Bendera Sepanjang Sejarah

Bendera (marawa, panji) itu adalah tanda atau ciri. Biasanya dibuat dari kain, digunakan sebagai lambang dari suatu kerajaan/pemerintahan. Atau lambang perkumpulan dan lain-lainnya.

Warna bendera disesuaikan dengan cita-cita negara atau perhimpunan itu. (“Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih”, demikian bunyi pasal 35 UUD-45. Dalam Penjelasan UUD-45 tak ada penjelasan tentang cara hormat bendera, dan sanksi hukum bagi yang tak mengikuti tata caranya).

Dalam bahasa Arab biasa disebut “al-‘Alam’ yang artinya ciri atau tanda (alamat). Bendera biasanya diikatkan di ujung tombak (senjata). Bendera yang biasa digunakan sebagai tanda pasukan disebut “Ar-Rooyatu”, atau disebut juga “Ummul Harbi” – induk perang. Sedang bendera yang biasa dipakai waktu baris “Al-Liwaa”.

Di zaman Rasulullah saw, bila perang fi sabilillah, biasa memakai bendera sebagai tanda pasukan Muslim, pernah bendera Islam berwarna hitam.

Bendera dikenal pertama kali sejak 1000 tahun sebelum lahir Nabi ‘Isa as. Di jaman Rumawi, bendera dinaikkan dengan upacara kesucian (upacara kudus). Diiringi lagu kebaktian karangan vergalius sebagai lagu peringatan kepada Jumater (Dewi ibu), mereka sangat tawadhu menghormati bendera itu karena dihubungkan dengan kepercayaan mereka. Kemudian hormat bendera ditambah dengan mengangkat tangan (tabik, kerek, sikap hormat) sebagai ajaran dari Inggris.

Hukum Hormat Bendera

Islam datang, semuanya dibatalkan dan dikembalikan kepada keadaan semula. Bendera hanya sekedar tanda pasukan di waktu peperangan dan tidak lebih daripada itu.

Adapun menghormat bendera dengan cara tabik (mengangkat tangan dan lainnya), ini tidak dapat dimengerti oleh otak, dan tidak ada dalil agama (dalil negara?). Yang demikian itu dalam istilah agama (Islam) disebut Khurafat (syirik, karut marut).

Secara naqli (rasio, logika), menghormat bendera itu adalah bertentangan dengan ajaran Islam, yakni bertentangan dengan ketentuan Allah dan berentangan dengan akal, serta menyamai adat kebiasaan orang musyrik yang dilarang oleh agama.

Hukum hormat bendera menurut keterangan agama adalah khurafat dan membawa kepada kemusyrikan. Berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia Nr/1954, hal 7, pasal 16 : ”Di dalam sekolah, guru-guru harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau keyakinan hidup.”

Manusia boleh melakukan sesuatu yang dibenarkan otaknya asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Dilarang melakukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti otak kecuali ada dalil dari Allah dan RasulNya.

Takhyul, khurafat, magik, mithos, klenik sama sekali dilarang oleh Islam. Yang harus dihormati adalah yang dibenarkan oleh Islam, dan caranya mengikuti ajaran Islam pula. (Dipetik dari RISALAH, Bandung, No.2, Th.XXIII, Rajab-Sya’ban 1405H / April 1995, hal 37-39)

Sementara itu, pada bulan Maret 2011, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kebudayaan, KH Cholil Ridwan, menyatakan pendapat pribadi jika menghormati bendera hukumnya adalah haram.

Cholil berpendapat, mengenai hukum menghormati bendera, sejumlah ulama Saudi Arabia yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa (Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta) telah mengeluarkan fatwa dengan judul ‘Hukum Menyanyikan Lagu Kebangsaan dan Hormat Bendera’, tertanggal 26 Desember 2003.


Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan dengan alasan:


Pertama, Lajnah Daimah menilai bahwa memberi hormat kepada bendera termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari. Aktivitas tersebut juga tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW ataupun pada masa Khulafa’ ar-Rasyidun.


Kedua, menghormati bendera negara juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan hanya kepada Allah semata.


Ketiga, menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan. Keempat, penghormatan terhadap bendera juga merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Rasulullah SAW melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka. (mn)

Sumber: eramuslim.com

Keutamaan Sholat Berjama'ah di Masjid Sebanding dengan Ribath (Berjaga-jaga) Fii Sabilillah

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ.


Dari Abu Hurairah beliau berkata : Rasulullah bersabda :

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu amal yang karenanya Allah akan menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengangkat derajat kalian ?” Para Shahabat menjawab : “Mau Ya Rasulullah”. Rasulullah bersabda : “(yaitu) menyempurnakan wudhu’ di saat kalian dalam kondisi kesulitan, memperbanyak langkah menuju masjid-masjid Allah dan menunggu datangnya waktu sholat sehabis kalian selesai melaksakanan sholat (berjama’ah). Itulah yang dimaksud dengan ribath (berjaga-jaga)”. (HR Muslim)

Imam Nawawi menjelaskan : “Ribath yang dimaksud di sini juga berarti berjaga-jaga di medan jihad. Sedangkan ribath aslinya bermakna menahan atau mengikat diri terhadap sesuatu. Seakan-akan kita berusaha menahan hawa nafsu kita agar senantiasa berada dalam ketaatan seperti ini dan tidak mudah tergoda untuk berbuat maksiat”.


MALAS BERJAMA’AH KETIKA DATANG WAKTU SHOLAT DAN SEDIKIT BERDZIKIR ADALAH TANDA SIFAT NIFAQ

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا [النساء/142]

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (pamer) (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah (berdzikir) kecuali sedikit sekali” (QS An Nisa’ 142)

Menipu Allah : pura-pura beriman, taat dan patuh kepada Rasulullah padahal di dalam hatinya mereka kufur dan ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya

MENINGGALKAN SHOLAT JAMA’AH ADALAH TANDA-TANDA MUNAFIK

Dari Abu Ahwash diriwayatkan dari Abdullah t beliau bersabda :

“Barangsiapa yang nanti (di hari kiamat) ingin berjumpa Allah dalam keadaan muslim maka hendaklah ia menjaga sholat lima waktu (dengan berjama’ah di masjid) saat datang panggilan (adzan), karena Allah mensyari’atkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah yang memberikan hidayah. Dan sesungguhnya sholat lima waktu (berjama’ah di masjid) adalah bagian dari sunnah itu”.

"Maka seandainya kalian sholat di rumah kalian seperti orang yang menyelisihi sunnah Nabi ini (orang-orang munafik) yang sholat di rumahnya, itu berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian e. Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian e kalian pasti akan tersesat”.

“Tidaklah seorang laki-laki berwudhu’ dan ia menyempurnakan wudhu’ nya itu lalu bersegera berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid Allah kecuali Allah tuliskan baginya pada setiap satu langkah kakinya satu kebajikan, mengangkatnya satu derajat, menghapuskan satu dosa dan sungguh aku sudah menyaksikan (keadaan) kami (seperti itu)”.

“Dan tidaklah seseorang meninggalkan hal ini (sholat berjama’ah 5 waktu di masjid) kecuali ia termasuk orang munafik yang jelas sekali kemunafikannya” (HR Muslim)

SHOLAT JAMA’AH ISYA’ DAN SHUBUH ADALAH SHOLAT YANG PALING BERAT BAGI ORANG MUNAFIK

Dari Abu Hurairah beliau berkata : Rasulullah bersabda :

"Tidak ada sholat yang lebih berat untuk dilakukan oleh orang munafik melebihi sholat Isya’ dan Shubuh (berjama’ah di masjid). Padahal seandainya mereka tahu keutamaan yang Allah siapkan bagi mereka (sebagai imbalan dari sholat tersebut), pastilah mereka akan bersusah payah berangkat ke masjid untuk berjama’ah walaupun mereka harus merangkak. Sungguh aku sangat ingin memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat lalu aku suruh salah seorang dari kalian untuk mengimami sholat jama’ah sedangkan aku akan pergi mengambil obor untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau datang ke masjid untuk sholat berjama’ah (HR Bukhari)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda :

“Sesungguhnya sholat yang paling berat untuk dilakukan oleh orang munafik adalah sholat Isya’ dan Shubuh (berjama’ah di masjid). Padahal seandainya mereka tahu keutamaan yang Allah siapkan bagi mereka (sebagai imbalan dari sholat tersebut), pastilah mereka akan bersusah payah berangkat ke masjid untuk berjama’ah walaupun mereka harus merangkak. Sungguh aku sangat ingin memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat lalu aku suruh salah seorang dari kalian untuk mengimami sholat jama’ah sedangkan aku akan mengajak orang untuk membawa kayu bakar yang menyala untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau datang ke masjid untuk sholat berjama’ah (HR Muslim)

HANYA ORANG YANG MEMAKMURKAN MASJID YANG BERHAK DISEBUT ORANG BERIMAN DAN YANG MENDAPAT HIDAYAH

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ [التوبة/18]

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah (yang berhak disebut) orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian (kiamat), serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS At Taubah 18)

TUJUH GOLONGAN YANG AKAN MENDAPAT NAUNGAN ALLAH DI HARI KIAMAT NANTI

Dari Abu Hurairah t beliau berkata : Rasulullah bersabda :

“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah Azza Wa Jalla pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya : (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Rabb nya, (3) hamba Allah yang hatinya selalu terpaut ke masjid-masjid Allah, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah di atas (jalan) Allah, (5) laki-laki yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan terhormat (bangsawan) tetapi ia berkata : “Aku takut kepada Allah”, (6) hamba Allah yang berinfaq dengan sembunyi-sembunyi sehingga ketika tangan kanannya berinfaq tangan kirinya tidak mengetahuinya dan (7) hamba Allah yang menyendiri untuk mengingat Allah (berdzikir dan beribadah) lalu kedua matanya basah dengan airmata” (HR Bukhari dan Muslim)

Diambil dari sebuah catatan Abu Izzuddin

Abu Hanifah An-Nu’man (Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasannya)

Suatu ketika Abu Hanifah menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama para sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukan kalian, siapa dia?” mereja menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”

Tidaklah berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas dan tajam wawasannya.

Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekeuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik, “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan argumentasinya untuk membela kebenaran?”

Sebagai bukti, ada seorang dari Kuffah yang disesatkan oleh Allah. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.

Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang berkata fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” beliau menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu ruku’ dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah.”

Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja yang Anda sebutkan sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya, “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”

Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan kerasnya, tapi engkau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”

Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Asataghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku katakan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”

Contoh lain ada seorang khawarij bernama Adh-Dhahak Asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata:

Adh-Dhahak, “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”

Abu Hanifah, “Bertaubat dari apa?”

Adh-Dhahak, “Dari pendapat Anda yang membenarkannya tahkim antara Ali dan Muawiyah.”

Abu Hanifah, “Maukan Anda berdiskusi dengan saya dalam masalah ini?”

Adh-Dhahak, “Baiklah, saya bersedia.”

Abu Hanifah, “Bila kita nanit berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”

Adh-Dhahak, “Pilihlah sesuka Anda.”

Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:

Abu Hanifah, “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya,) “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”

Adh-Dhahak, “Ya, saya rela.”

Abu Hanifah, “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah yang bertahkim?”

Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.

Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata:

Jahm, “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”

Abu Hanifah, “Bedialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang kamu bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala.”

Jahm, “Bagaimana Anda bisa memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah mendengar pendapat-pendapat saya?”

Abu Hanifah, “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).

Jahm, “Anda menghakimi saya secara sepihak?”

Abu Hanifah, “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.”

Jahm, “Saya tidak ingin membicarakan dan menanyakan tentang apa-apa kecuali tentang keimanan.”

Abu Hanifah, “Apakah hingga saat ini kamu belum mengetahui juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakan kepada saya?”

Jahm, “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”

Abu Hanifah, “Keraguan dalam keimanan adalah kufur.”

Jahm, “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”

Abu Hanifah, “Silakan bertanya!”

Jahm, “Telah sampai kepadaku tentang seorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau kafir?”

Abu Hanifah, “Dia mati dalam kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”

Jahm, “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya?”

Abu Hanifah, “Bila Anda beriman kepada Al-Qur’an dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Al-Qur’an dan tidak memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”

Jahm, “Bahkan saya mengimani dan menjadikannya sebagai hujjah.”

Abu Hanifah, “Sesungguhnya Allah menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu darinya. Kitabullah dan hadits Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). Mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada Kami, Padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?". Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya),” (Al-Maidah: 83-85).

Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’,” (Al-Baqarah: 136).

Allah menyuruh mereka mengucapkannya dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadits Rasulullah saw, “Ucapkanlah, Laa ilaaha illallah, niscaya kalian akan beruntung.”

Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.

Rasulullah saw. bersabda, “Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa megucapkan laa ilaaha illallah..”

Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikelaurkan dari neraka barangsiap yang mengenal Allah.”

Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya sekedar dengan pengetahuannya, niscaya Iblis juga termasuk mukmin, sebab dia menganal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya.

Saya lebih baik daripadanya: Engkau cipatakan saya dari api sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah,” (Al-A’raf: 12).

Kemudian:

“Berkata Iblis, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tanggulah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan’.” (Al-Hijr: 36).

Juga firman Allah Ta’ala:

Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yagn lurus,” (Al-A’raf: 16).

Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.

Firman Allah Ta’ala:

Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini kebenarannya,” (An-Naml: 14).

Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.

Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Qur’an dan adakalanya dengan hadits-hadits. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang telah saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.

Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi Al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:

“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samudera. Gelombangnya kecil dan anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapalnya sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tengang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan kapal. Masuk akalkah cerita ini?”

Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipunn, wahai syaikh. Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendir tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang dan benda-benda langit serta burung yang berterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”

Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yang dianugerahkan Al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasinya yang tepat.

Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghasab.

Ketika wasiat itu didengar oleh khalifah Al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”

Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh Al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berakta, “Semoga Allah merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shoum selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”

sumber: alislamu

Eitss.... Bukan Muhrim!

Seringkali kita mendengar orang berkata “eits… jangan pegang-pegang! bukan muhrim!!”, "jangan deket-deket, kita kan bukan muhrim!" dan yang semisal dengannya, atau bahkan kita sendiri yang sering mengatakannya.

Tau nggak? ternyata selidik punya selidik ternyata di dalam kalimat tersebut terdapat kata yang tidak tepat penggunaannya, yaitu kata muhrim. Kebanyakan orang sering menggunakan kata ini untuk menyebut lawan jenis yang haram (tidak boleh) untuk dinikahi. Sebagai informasi saja berikut ini letak kesalah-kaprahan kita dalam menggunakan kata tersebut:

Muhrim berasal dari kata “Muhrimun” = Orang yang ber-ihram dalam ibadah haji

Mahram berasal dari kata “Mahramun” = Orang (wanita) yang haram (dinikahi)

Nah,… sekarang dah jelas kan! kira-kira kita canggung nggak ya untuk menyebut orang yang haram dinikahi dengan kata “mahram” ? :)

Semoga bermanfaat…


Download mp3 Al Quran per Ayat

Menjadi seorang hafizh atau hafizhoh (penghafal Al Quran) adalah sebuah cita-cita mulia bagi setiap muslim. Meskipun demikian tidak banyak yang menyadari keutamaan membaca ataupun menghafal al Quran tersebut. Nah salah satu diantara keutamaan pembaca al quran adalah akan mendapat syafaat di hari kiamat kelak seperti yang disabdakan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam berikut: Dari Abu Amamah rodhiyallohu ‘anhu, aku mendengar Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat" (HR Muslim).

Itu baru satu diantara berbagai keutamaan pembaca/penghafal Quran. Yang lain masih banyak dan begitu menggiurkan. Tertarik ingin menjadi salah
satu dari yang mendapat syafaat tersebut? Tidak ada salahnya kita mencoba tips berikut! Coba perdengarkan bacaan al quran per ayat secara berulang-ulang insya Alloh akan memudahkan kita untuk menghafal ayat tersebut. Kita ambil contoh, perdengarkan surah al muzammil (73) ayat pertama (1) selama lima atau sepuluh kali. Insya Alloh dengan waktu yang tidak terlalu lama kita akan dapat menghafal ayat tersebut. Caranya? Silakan klik alamat web berikut ini untuk men download surah al muzammil ayat pertama (1).

http://id.quran.nu/quran/sound/QFA/073/001.mp3

nah, untuk mendownload surah dan ayat yang lain tinggal diganti saja, yang berwarna merah adalah urutan surah dalam al quran sedangkan yang diberi warna hijau adalah urutan ayatnya. Jadi misal kita ingin download surah al baqoroh ayat 10 maka tinggal ketik alamat berikut!

http://id.quran.nu/quran/sound/QFA/002/010.mp3

bagaimana? Mudahkan? Selamat mendownload dan menghafal!

[ibrahim/bmm/muslimsoul.net]

Mengapa Wanita Banyak Menghuni Neraka?

Sebuah pernyataan yang cukup lazim terdengar di telinga kita bahwa kebanyakan penduduk neraka dihuni oleh para wanita.

Berdasarkan Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Aku melihat ke dalam surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.”

Muncul pertanyaan di benak kita, apa yang menyebabkan kebanyakan wanita menjadi penduduk neraka? Dalam sebuah kisah ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya melakukan shalat gerhana, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam melihat Surga dan neraka.

Ketika beliau melihat neraka beliau bersabda kepada para shahabatnya radhiyallahu 'anhum, “ … dan aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penduduknya adalah kaum wanita. Shahabat pun bertanya, “Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Karena kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma)

Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda, “ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu)

Bagi para muslimah atau umumnya wanita ketika membaca atau mendengar hadist-hadist di atas sontak naik darah dan tidak bisa menerima sepenuhnya. Minimal akan berhujjah bahwasanya wanita bisa berbuat demikian karena ada penyebabnya, bukan tiba-tiba ingin berlaku demikian. Siapapun kalau ditanya tentu saja tidak ada yang ingin masuk neraka apalagi diklaim akan masuk neraka. Naudzubillah mindzalik!

Memang, berlayar mengarungi bahterah rumah tangga itu tidak semudah yang dibayangkan. Seorang muslimah tepatnya seorang istri, tidak saja harus membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup tapi juga mutlak dibutuhkan mental baja dan manajemen yang baik dalam mengelola gelombang kehidupan beserta segala pernak pernik yang menyertainya. Ketika urusan rumah tangga tidak pernah ada habisnya, anak-anak rewel dan kondisi fisik sedang tidak fit, kemudian suami pulang kerja minta dilayani tanpa mau perduli dengan kondisi kita, biasanya, dalam kondisi seperti ini tidak banyak wanita yang tetap mampu mengendalikan kesabarannya. Manusiawi bukan? Belum tentu!Justru dalam situasi seperti inilah keimanan dan kesabaran kita akan teruji. Apakah kita masih bisa mengeluarkan kata-kata manis sekaligus rona muka penuh dengan senyum ketulusan? Sulit memang! Tapi sulit bukan berarti tidak bisa!

Jika kita cermati hadist diatas secara seksama, maka akan kita dapati beberapa sebab mengapa wanita bisa menjadi penduduk minoritas di surga, di antaranya :

Pertama, kufur terhadap kebaikan-kebaikan suami. Sebuah fenomena yang sering kita saksikan, seorang istri yang mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya dalam waktu yang panjang hanya karena satu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Padahal seharusnya seorang istri selalu bersyukur terhadap apa-apa yang diberikan suaminya, karena Allah SWT tidak akan melihat istri yang seperti ini sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam,“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR. Nasa’i di dalam Al Kubra dari Abdullah bin ‘Amr).

Kedua, durhaka terhadap suami. Durhaka yang sering dilakukan seorang istri adalah durhaka dalam ucapan dan perbuatan. Wujud durhaka dalam ucapan di antaranya ketika seorang istri membicarakan keburukan-keburukan suaminya kepada teman-teman atau keluarganya tanpa alasan yang dibenarkan oleh syar’i. Sedangkan durhaka dalam perbuatan diantaranya bersikap kasar atau menampakkan muka yang masam ketika memenuhi panggilan suami, tidak mau melayani suami dengan alasan yang tidak syar’i, pergi atau ke luar rumah tanpa izin suami, mengkhianati suami dan hartanya, membuka dan menampakkan apa yang seharusnya ditutupi dari anggota tubuhnya, atau sebaliknya enggan berdandan dan mempercantik diri untuk suaminya padahal suaminya menginginkan hal itu.

Jika demikian keadaannya maka sungguh merugi wanita-wanita yang kufur dan durhaka terhadap suaminya. Mereka lebih memilih jalan ke neraka daripada surga karena mengikuti hawa nafsu belaka.

Jalan ke surga memang tidaklah dihiasi dengan bunga-bunga nan indah, melainkan melalui rintangan-rintangan yang berat dan terjal. Tetapi ingatlah di ujung jalan ini Allah menjanjikan surga bagi orang-orang yang sabar menempuhnya.

Sementara, jalan menuju ke neraka penuh dengan keindahan yang menggoda dan setiap manusia sangat tertarik untuk melaluinya. Tetapi, sadarlah bahwa di ujung jalan ini, neraka telah menyambut dengan beragam siksa-Nya.

Lalu, bagaimana caranya agar para wanita atau para istri tidak terperosok ke dalam neraka?

Jangan pesimis, masih banyak cara dan tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri jika kita ingin menjadi penduduk minoritas di surga.

Masih ingat kan, ketika rasulullah bersabda dalam sebuah hadist shahih jami’, “Perempuan apabila shalat 5 waktu, puasa di bulan ramadhan, memelihara kehormatannya serta taat kepada suaminya, maka masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dia kehendaki.”

Mengacu dari hadist di atas, mari kita berlomba menegakkan sholat dengan lebih khusu’, memperbayak sholat-sholat sunah karena sholat yang benar dan khusu’ bisa membentengi diri kita dari perbuatan yang munkar. Selain puasa/shaum wajib di bulan romadhon, latihlah diri untuk terbiasa melakukan shaum sunah. Hiasilah diri dengan sabar dalam ketaatan dengan suami dan banyak-banyaklah beristigfar karena istigfar bisa meruntuhkan dosa-dosa kecil yang tidak kita sadari.

Dan juga ada sebuah amalan yang sepele tapi sering terlupakan adalah bershodaqoh (sedekah). Bershodaqohlah dalam keadaan lapang dan sempit karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah menuntunkan satu amalan yang dapat menyelamatkan kaum wanita dari adzab neraka.

Ketika beliau selesai khutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan anjuran untuk mentaati-Nya. Beliau pun bangkit mendatangi kaum wanita, beliau menasehati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian beliau bersabda, “Bershadaqahlah kalian! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, iapun bertanya, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami!” (HR. Bukhari)

Bershadaqahlah! Karena shadaqah adalah satu jalan untuk menyelamatkan kalian dari adzab neraka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari adzabnya. Amin. Wallahu’alam.

(Nani Agus, nani_agus2@yahoo.com)_eramuslim

Umayyah binti Qais al-Ghiffariah, Sang Perawat di Medan Jihad

Sebuah kalung dihadiahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam atas keberanian Umayyah binti Qais al-Ghiffariah turun ke medan Perang Khaibar. Meski seorang perempuan, keberanian Umayyah untuk membela agama Allah Subhanahu wata'ala sungguh luar biasa. Ia membela agama Allah sesuai dengan kemampuannya.

Wanita pemberani itu turun ke medan perang untuk membantu dan merawat para sahabat yang terluka. Kalung yang disematkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam di leher Umayyah, merupakan tanda kekaguman atas pengorbanan dan keberanian sang perawat mujahidah.

Umayyah berasal dari suku Ghiffar, keturunan Abu Dzar al-Ghiffari. Pada saat masih belia, cahaya iman yang ditebarkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyinari harinya. Ia pun rela menempuh perjalanan jauh demi bertemu tokoh idola sepanjang zaman, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam. Umayyah menghadap Rasulullah dan berjanji untuk membantu perjuangan dakwah Islamiyah.

Pada tahun ke-7 Hijriah atau 629 M, pasukan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bertempur melawan orang-orang Yahudi yang tinggal di Oasis Khaibar, sejauh 150 kilometer dari Madinah atau Timurlaut Semenanjung Arab. Dengan demikian, pertempuran itu dikenal sebagai Perang Khaibar. Perang itu terjadi tak lama setelah Perjanjian Hudaibiyah.

Mendengar pasukan Muslimin akan berangkat ke medan perang, Umayyah bersama beberapa wanita dari Bani Ghiffar lalu menghadap Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam. "Wahai Rasulullah, kami ingin keluar bersamamu (ke Khaibar), kami ingin mengobati mereka yang luka dan menolong kaum Muslimin semampu kami," ujar Umayyah seperti dituturkan Ibnu Hisyam dalam "Para Syuhada Wanita Khaibar dan Kisah Wanita dari Suku Ghiffar."

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam pun menjawab, "Berangkatlah atas berkah Allah Subhanahu wata'ala."

Saat itu, usia Umayyah masih belia. "Berangkatlah kami bersama beliau. Saat itu saya masih seorang gadis kecil," ungkap Umayyah. Di perjalanan, Rasulullah membonceng Umayyah di atas kudanya. Umayyah pun mengisahkan pengalaman yang tak pernah terlupakan saat bersama Rasulullah berjihad ke medan perang.

"Demi Allah, pada saat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam turun pada suatu pagi dari kendaraannya dan menambatkan kudanya, tiba-tiba menetes darah dariku di atas pelana kudanya. Itulah haid pertama saya di atas kuda beliau. Saya benar-benar malu saat itu," papar Umayyah berkisah.

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam melihat apa yang dialami Umayyah dan berkata, "Janganjangan kamu sedang haid?" Umayyah pun segera menjawab, "Benar, ya, Rasulullah." Lalu, Rasul pun meminta Umayyah membersihkan diri dengan air bercampur garam. Sejak peristiwa itu, Umayyah selalu membersihkan haidnya dengan air yang dibubuhi garam. Bahkan, di hari wafatnya, Umayyah berwasiat untuk dimandikan dengan air yang bergaram.

Pada Peperangan Khaibar itu, kaum Muslimin meraih kemenangan. Pasukan Muslimin di bawah komando Ali bin Abi Thalib berhasil meruntuhkan pintu Benteng Na'im--jantung terakhir perlawanan musuh. Benteng Na'im jatuh ke tangan pasukan Islam. Setelah itu, benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya dikuasai melalui pertarungan yang sengit. Orang-orang Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi', yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan Rasulullah.

Dari Peperangan Khaibar itu, kaum Muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang sangat banyak. Seusai pertempuran, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam memberikan penghargaan kepada Umayyah berupa sebuah kalung. Hadiah yang diberikan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam itu begitu bermakna bagi Umayyah. Ia pun tak pernah melepaskan kalung itu dari lehernya sampai jasadnya dikubur di liang lahat, sesuai wasiatnya.

Umayyah begitu bangga mendapat penghargaan kalung dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam. Kelak, kalung tersebut akan menjadi saksi atas jasa dan perjuangannya. Pada hari Kebangkitan nanti, tutur Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya berjudul Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, akan dibangkitkan sesuai kondisinya saat meninggal.

"Dari kisah ini, hendaknya para Muslimah meneladani jiwa kepahlawanan Umayyah yang mengikhlaskan dirinya untuk terjun ke medan laga demi mengobati luka dan menolong kaum Muslimin sekuat tenaga," ungkap Ibrahim Salim.
Kisah ini juga mengungkapkan kepada kita sikap seorang pemimpin Islam yang menghargai jasa para pejuang.

[ditz/md/republika]

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates