Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Kamilah yang Telah Berbai’at kepada Muhammad untuk Terus Berjihad Selama Nyawa Masih Dikandung Jasad

Hari itu udara sangat dingin menusuk tulang, rasa lapar mendera Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam dan para shahabat di tengah kekhawatiran akan datangnya musuh yang setiap saat dapat menyerang, para shahabat bahu membahu menggali parit perlindungan di sekeliling Madinah sebagaimana usulan Salman Al Farisi Radhiyallohu 'anhu . Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam memerintahkan setiap sepuluh orang shahabat agar menggali sepanjang 40 hasta (-+ 30 meter).

Saat itu musuh yang berjumlah lebih dari sepuluh ribu pasukan koalisi (Ahzab) tengah mengepung kota Madinah. Tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali mempertahankan Madinah sampai titik darah penghabisan. Dalam kondisi yang demikian mencekam ini, Rasulullah dan para shahabat beliau masih dibayang-bayangi rasa khawatir akan adanya kemungkinan pengkhianatan kaum Yahudi Bani Quraidhah yang saat itu tinggal di dalam kota Madinah dan mengikat perjanjian damai dengan Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam.

Saking dinginnya udara dan kuatnya deraan rasa lapar, tidak sedikit dari para shahabat yang mengganjal perut mereka dengan batu yang diikatkan ke perut mereka. Bahkan Rasulullah pun melakukan hal yang sama. Beratnya rasa lapar ini dikisahkan oleh Anas bin Malik yang saat itu ikut menggali parit :

“Mereka hanya memiliki sebanyak dua telapak tangan gandum yang mereka masak hingga mengembang lalu mereka letakkan di atas nampan kemudian dikelilingkan di antara mereka agar mereka dapat mencium baunya dan sedikit menghikangkan rasa lapar mereka”. (HR Bukhari) Allahu akbar walillahil hamd…!!!

Namun demikian, semua itu tidak mengurangi ketaatan dan semangat mereka menggali parit perlindungan di sekeliling Madinah sebagaimana diperintahkan oleh panglima perang dan amir mereka Muhammad Shollallohu 'alaihi wa Sallam.

Menyaksikan itu semua, Rasulullah berdo’a kepada Allah :

اللَّهُمَّ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الآخِرَهْ فَاغْفِرْ لِلأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ

“Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirah (akhirat),

maka ampunilah dosa kaum Anshar dan Muhajirah (Muhajirin)”.

Mendengar do’a Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam serta merta para shahabat Anshar dan Muhajirin menjawab dengan serempak :

نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا عَلَى الْجِهَادِ مَا بَقِينَا أَبَدًا

“Kamilah yang telah berbai’at kepada Muhammad

Untuk terus berjihad selama nyawa masih di kandung jasad”.

(Shahih Bukhari juz 10 hal 257, Ar Rakhiqul Makhtum hal 269, Shiroh Ibnu Katsir juz 3 hal 184)

Melihat kondisi kaum muslimin yang sudah terkepung sekian lama di dalam kota Madinah, sehingga kelaparan mulai menyiksa hampir seluruh penduduk Madinah, sementara di saat yang sama, kaum Yahudi Bani Quraidzah dan Bani Ghathafan sudah nyata-nyata mengkhianati Rasulullah dan membantu kaum musyrik Quraisy, maka Rasulullah berusaha keras mencari siasat dan taktik yang jitu untuk mengalahkan pasukan koalisi tersebut. Beliau lalu memanggil para shahabatnya untuk bermusyawarah.

Maka berdiri lah Nuaim bin Mas’ud bin Amir, salah seorang dari Bani Ghathafan yang sudah masuk Islam namun tidak ada seorang pun dari kaumnya yang mengetahui keislamannya. Mereka mengira Nuaim masih beragama yahudi dan mendukung pengkhianatan mereka terhadap Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam. Dengan keadaannya yang demikian ini Nuaim Radhiyallohu 'anhu ingin melakukan strategi memecah-belah kekuatan musuh. Ia berkata kepada Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam :

“Ya Rasulullah, kini aku sudah masuk Islam (sedangkan mereka tidak tahu tentang hal ini) maka perintahkan kepadaku apapun yang engkau mau (demi kemenangan Islam)”.

Rasulullah bersabda :

“Wahai Nuaim, engkau hanya seorang diri (di tengah-tengah ribuan musuh) maka lakukanlah tipu muslihat dan strategi apapun yang bisa engkau lakukan demi kemenangan kita, sesungguhnya perang ada tipu muslihat”.

Nu'aim bin Mas'ud pun bergegas pergi menemui kaum Yahudi bani Quraidzah, yang belum mengetahui bahwa dia sudah masuk Islam. Pada zaman jahiliyah ia bergaul rapat sekali dengan mereka. Diingatkannya kembali hubungan dan persahabatan mereka masa dahulu itu. Kemudian disebut-sebutnya juga bahwa mereka telah mendukung suku Quraisy dan Ghathafan dalam menghadapi Muhammad Shollallohu 'alaihi wa Sallam, sedangkan suku Quraisy maupun Ghathafan mungkin tidak akan tahan lama tinggal di tempat itu. Kedua kabilah ini tentu akan berangkat pulang, dan mereka akan ditinggalkan sendirian menghadapi kaum muslimin yang tentunya nanti akan menghajar mereka pula. Oleh karena itu dinasehatinya supaya mereka jangan mau ikut golongan itu sebelum mendapatkan sandera beberapa orang dari pimpinan mereka sebagai jaminan dari kedua suku itu. Dengan demikian Quraisy dan Ghathafan tidak akan meninggalkan mereka. Kaum Yahudi bani Quraidzah merasa puas dengan keterangan Nu'aim bin Mas’ud tersebut.

Selanjutnya Nu'aim bin Mas'ud pergi lagi menemui para pembesar suku Quraisy dengan membisikkan, bahwa sebenarnya pihak Bani Quraidzah merasa menyesal sekali atas tindakannya melanggar perjanjian dengan Muhammad dan pengikutnya dan bahwa mereka sekarang berusaha hendak mengambil hati Muhammad dan mengadakan perjanjian damai lagi dengan jalan hendak menyerahkan pemimpin-pemimpin Quraisy kepadanya untuk dijadikan sandera atau dibunuh. Oleh karena itu lalu disarankannya, bahwa bilamana nanti pihak Yahudi Bani Quraidzah mengutus orang meminta beberapa orang pemimpin Quraisy untuk dijadikan jaminan, jangan dikabulkan, karena sebenarnya mereka akan diserahkan kepada Muhammad dan pengikutnya.

Seperti halnya terhadap Quraisy, kemudian Nu'aim melakukan hal yang sama pula terhadap Bani Ghathafan. Keterangan Nu'aim ini telah menimbulkan keraguan dalam hati para pemimpin suku Quraisy dan Bani Ghathafan.

Maka para pembesar musyrikin Quraisy pun segera berunding. Abu Sufyan lalu mengutus orang menemui pemimpin Bani Quraidzah dengan pesan : "Kami sudah cukup lama tinggal di tempat ini dan mengepung Muhammad dan para pengikutnya. Menurut pendapat kami, besok pagi kalian harus sudah menyerbu Muhammad dan kami dibelakang kalian."

Tetapi utusan Abu Sufyan itu kembali dengan membawa jawaban dari pemimpin Bani Quraidzah : "Besok adalah hari Sabtu, dan pada hari Sabtu itu kami tidak dapat berperang atau bekerja apa pun."

Serasa tersentak, Abu Sufyan naik pitam. Utusan itu disuruhnya kembali dengan mengatakan kepada pihak bani Quraidzah : "Cari Sabtu-sabtu lain saja sebagai pengganti Sabtu besok, sebab besok Muhammad harus sudah diserbu. Kalau kami sudah mulai menyerang Muhammad sedang kamu tidak ikut serta dengan kami, maka persekutuan kita dengan sendirinya bubar, dan kamulah yang akan kami serbu lebih dulu sebelum Muhammad."

Pernyataan Abu Sufyan itu oleh kaum Yahudi Bani Quraidzah tetap dijawab dengan mengulangi bahwa mereka tidak akan melanggar hari Sabtu. Ada golongan mereka yang telah mendapat kemurkaan Allah karena telah melanggar hari Sabtu sehingga mereka itu menjadi monyet dan babi. Kemudian disebutnya juga jaminan yang mereka minta sebagai sandera, supaya mereka lebih yakin akan perjuangan mereka itu.

Mendengar permintaan semacam itu Abu Sufyan lebih yakin lagi akan keterangan yang telah diberikan Nu'aim itu. Terpikir olehnya sekarang apa yang harus diperbuatnya. Ketika hal ini dibicarakan dengan pihak Bani Ghathafan ternyata mereka juga masih ragu-ragu hendak memerangi Muhammad dan pengikutnya. Mereka sebenarnya sudah mulai jemu dan kelelahan, karena begitu lama mereka mengadakan pengepungan dengan segala jerih payah yang mereka hadapi selama itu. Mereka melakukan semua ini hanya karena memenuhi ajakan Huyayy bin Akhtab dan orang-orang Yahudi yang menjadi pengikutnya. Di samping itu mereka juga sudah mulai terpengaruh dengan janji yang pernah diberikan Muhammad kepada mereka, bahwa sepertiga hasil perkebunan kota Madinah nanti untuk mereka dengan syarat mereka mau berhenti melakukan pengepungan dan kembali ke kampungnya.

Sebagai salah satu strategi memecah belah kekuatan musuh, Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam memang telah mengirimkan utusan kepada kaum Yahudi Bani Ghathafan yang menjanjikan sepertiga hasil perkebunan Madinah untuk mereka jika mereka mau menghentikan pengepungan. (Zaadul Ma’ad juz 3 hal 240, Ar Rakhiqul Makhtum hal 271, Shiroh Ibnu Katsir juz 3 hal 214, Shiroh Ibnu Hisyam juz 2 hal 228)

Hingga sampailah di suatu malam yang gelap gulita di mana seseorang tak lagi dapat melihat tangannya sendiri. Udara begitu dingin luar biasa disertai angin badai yang bertiup kencang serasa hendak menyapu apapun yang di depannya, Rasulullah mengumumkan sebuah tawaran tiket menuju surga Firdaus bersama beliau Shollallohu 'alaihi wa Sallam.

Sebagaimana dikisahkan oleh Shahabat Hudzaifah Ibnul Yaman, beliau bersabda :

“Siapa di antara kalian yang bersedia menyelinap dan menyusup ke dalam pasukan Ahzab lalu melaporkan keadaan mereka kepadaku ? Tapi dengan satu syarat, ia harus kembali kepadaku apapun yang terjadi. Niscaya aku akan meminta kepada Rabb-ku agar ia menjadi teman karibku nanti di surga Firdaus”

Namun tak seorang pun di antara shahabat beliau yang beranjak dari tempat duduknya menyambut tawaran beliau Shollallohu 'alaihi wa Sallam, karena suasana yang amat sangat mencekam dan kelaparan yang hampir-hampir tidak dapat lagi tertahankan.

Melihat tidak ada satu pun yang berdiri, Rasulullah lalu memanggilku (Hudzaifah), rasanya tidak ada alasan buatku untuk menolak panggilan Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam. Beliau bersabda : “Wahai Hudzaifah pergilah engkau dan menyusup ke dalam pasukan Ahzab lalu laporkan keadaan mereka kepadaku dan ingat, jangan melakukan tindakan apapun sampai engkau menemuiku kembali”.

Akhirnya Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallohu 'anhu pun menyusup ke tengah-tengah musuh demi melaksanakan perintah Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam walaupun dalam situasi dan kondisi yang sangat sulit dan penuh bahaya.

Hudzaifah melanjutkan : “Saat itu aku sudah berada di tengah-tengah pasukan Ahzab, sementara angin dan badai mulai menghebat. Tentara Allah itu memporak-porandakan periuk dan peralatan makan mereka. Demikian pula api unggun dan kemah mereka telah berantakan rata dengan tanah. Abu Sufyan bin Harb (panglima pasukan Ahzab) berkata, : “Wahai kaum Quraisy, hendaknya setiap orang dari kalian melihat siapa teman duduk di sebelahnya”.

Hudzaifah melanjutkan ceritanya : “(sebelum didahului pertanyaan) Aku segera memegang tangan orang di sebelahku dan bertanya, 'Siapa kamu?' Dia berkata : 'Saya Fulan bin Fulan.' Kemudian Abu Sufyan berkata : 'Wahai sekalian Quraisy, demi Allah, sesungguhnya kalian tidak berada di tempat yang aman. Perbekalan kita telah musnah, sedangkan Bani Quraizhah telah mengkhianati kita. Sudah sampai kepada kita berita yang tidak kita sukai. Dan kitapun dihantam oleh angin kencang ini seperti yang kalian lihat. Demi Allah, periuk tidak lagi tempatnya, api unggun juga sudah padam semuanya, tenda-tenda kita roboh berserakan, maka pulanglah kalian. Karena sesungguhnya aku juga akan pulang”.

Abu Sufyan menghampiri untanya yang tertambat, lalu duduk di atasnya. Setelah itu dia memukulnya hingga unta itu bangkit seiring dengan lepasnya tali ikatan. Pasukan Ahzab pimpinannya juga lari tunggang langgang dengan kekalahan.

Hudzaifah lalu berkata : “Kalau bukan karena janjiku kepada Rasulullah agar jangan berbuat sesuatu sampai aku menemui beliau, tentu aku akan memanahnya sampai mati."

“Kemudian aku kembali menemui Rasulullah Shollallohu 'alaihi wa Sallam yang sedang shalat dengan kain selimut bergaris milik salah seorang istrinya. Melihat kedatanganku, beliau memasukkan aku ke dalam kemahnya dan menghamparkan ujung selimut itu untukku, sementara beliau masih melanjutkan rukuk dan sujudnya. Setelah selesai salam, aku pun menceritakan hasilnya kepada beliau." (Musnad Ahmad juz 5 hal 392, Shiroh Ibnu Katsir juz 3 hal 218, Shiroh Ibnu Hisyam juz 2 hal 231, Umdatul Qaari Syarah Shahih Bukhari juz 21 hal 303)


dikutip dari sebuah catatan Ustadz Fuad Al Hazimi

Hormat Bendera, Kilasan Sejarah dan Hukumnya

Oleh : KHE Abdullah

Bendera Sepanjang Sejarah

Bendera (marawa, panji) itu adalah tanda atau ciri. Biasanya dibuat dari kain, digunakan sebagai lambang dari suatu kerajaan/pemerintahan. Atau lambang perkumpulan dan lain-lainnya.

Warna bendera disesuaikan dengan cita-cita negara atau perhimpunan itu. (“Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih”, demikian bunyi pasal 35 UUD-45. Dalam Penjelasan UUD-45 tak ada penjelasan tentang cara hormat bendera, dan sanksi hukum bagi yang tak mengikuti tata caranya).

Dalam bahasa Arab biasa disebut “al-‘Alam’ yang artinya ciri atau tanda (alamat). Bendera biasanya diikatkan di ujung tombak (senjata). Bendera yang biasa digunakan sebagai tanda pasukan disebut “Ar-Rooyatu”, atau disebut juga “Ummul Harbi” – induk perang. Sedang bendera yang biasa dipakai waktu baris “Al-Liwaa”.

Di zaman Rasulullah saw, bila perang fi sabilillah, biasa memakai bendera sebagai tanda pasukan Muslim, pernah bendera Islam berwarna hitam.

Bendera dikenal pertama kali sejak 1000 tahun sebelum lahir Nabi ‘Isa as. Di jaman Rumawi, bendera dinaikkan dengan upacara kesucian (upacara kudus). Diiringi lagu kebaktian karangan vergalius sebagai lagu peringatan kepada Jumater (Dewi ibu), mereka sangat tawadhu menghormati bendera itu karena dihubungkan dengan kepercayaan mereka. Kemudian hormat bendera ditambah dengan mengangkat tangan (tabik, kerek, sikap hormat) sebagai ajaran dari Inggris.

Hukum Hormat Bendera

Islam datang, semuanya dibatalkan dan dikembalikan kepada keadaan semula. Bendera hanya sekedar tanda pasukan di waktu peperangan dan tidak lebih daripada itu.

Adapun menghormat bendera dengan cara tabik (mengangkat tangan dan lainnya), ini tidak dapat dimengerti oleh otak, dan tidak ada dalil agama (dalil negara?). Yang demikian itu dalam istilah agama (Islam) disebut Khurafat (syirik, karut marut).

Secara naqli (rasio, logika), menghormat bendera itu adalah bertentangan dengan ajaran Islam, yakni bertentangan dengan ketentuan Allah dan berentangan dengan akal, serta menyamai adat kebiasaan orang musyrik yang dilarang oleh agama.

Hukum hormat bendera menurut keterangan agama adalah khurafat dan membawa kepada kemusyrikan. Berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia Nr/1954, hal 7, pasal 16 : ”Di dalam sekolah, guru-guru harus menghormati tiap-tiap aliran agama atau keyakinan hidup.”

Manusia boleh melakukan sesuatu yang dibenarkan otaknya asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan agama. Dilarang melakukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti otak kecuali ada dalil dari Allah dan RasulNya.

Takhyul, khurafat, magik, mithos, klenik sama sekali dilarang oleh Islam. Yang harus dihormati adalah yang dibenarkan oleh Islam, dan caranya mengikuti ajaran Islam pula. (Dipetik dari RISALAH, Bandung, No.2, Th.XXIII, Rajab-Sya’ban 1405H / April 1995, hal 37-39)

Sementara itu, pada bulan Maret 2011, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kebudayaan, KH Cholil Ridwan, menyatakan pendapat pribadi jika menghormati bendera hukumnya adalah haram.

Cholil berpendapat, mengenai hukum menghormati bendera, sejumlah ulama Saudi Arabia yang bernaung dalam Lembaga Tetap Pengkajian Ilmiah dan Riset Fatwa (Lajnah ad Daimah li al Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al Ifta) telah mengeluarkan fatwa dengan judul ‘Hukum Menyanyikan Lagu Kebangsaan dan Hormat Bendera’, tertanggal 26 Desember 2003.


Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdiri untuk memberi hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan dengan alasan:


Pertama, Lajnah Daimah menilai bahwa memberi hormat kepada bendera termasuk perbuatan bid’ah yang harus diingkari. Aktivitas tersebut juga tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW ataupun pada masa Khulafa’ ar-Rasyidun.


Kedua, menghormati bendera negara juga bertentangan dengan tauhid yang wajib sempurna dan keikhlasan di dalam mengagungkan hanya kepada Allah semata.


Ketiga, menghormati bendera merupakan sarana menuju kesyirikan. Keempat, penghormatan terhadap bendera juga merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang kafir, mentaklid (mengikuti) tradisi mereka yang jelek serta menyamai mereka dalam sikap berlebihan terhadap para pemimpin dan protokoler-protokoler resmi. Padahal, Rasulullah SAW melarang kita berlaku sama seperti mereka atau menyerupai mereka. (mn)

Sumber: eramuslim.com

Keutamaan Sholat Berjama'ah di Masjid Sebanding dengan Ribath (Berjaga-jaga) Fii Sabilillah

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ.


Dari Abu Hurairah beliau berkata : Rasulullah bersabda :

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu amal yang karenanya Allah akan menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengangkat derajat kalian ?” Para Shahabat menjawab : “Mau Ya Rasulullah”. Rasulullah bersabda : “(yaitu) menyempurnakan wudhu’ di saat kalian dalam kondisi kesulitan, memperbanyak langkah menuju masjid-masjid Allah dan menunggu datangnya waktu sholat sehabis kalian selesai melaksakanan sholat (berjama’ah). Itulah yang dimaksud dengan ribath (berjaga-jaga)”. (HR Muslim)

Imam Nawawi menjelaskan : “Ribath yang dimaksud di sini juga berarti berjaga-jaga di medan jihad. Sedangkan ribath aslinya bermakna menahan atau mengikat diri terhadap sesuatu. Seakan-akan kita berusaha menahan hawa nafsu kita agar senantiasa berada dalam ketaatan seperti ini dan tidak mudah tergoda untuk berbuat maksiat”.


MALAS BERJAMA’AH KETIKA DATANG WAKTU SHOLAT DAN SEDIKIT BERDZIKIR ADALAH TANDA SIFAT NIFAQ

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا [النساء/142]

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (pamer) (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah (berdzikir) kecuali sedikit sekali” (QS An Nisa’ 142)

Menipu Allah : pura-pura beriman, taat dan patuh kepada Rasulullah padahal di dalam hatinya mereka kufur dan ingkar terhadap Allah dan Rasul-Nya

MENINGGALKAN SHOLAT JAMA’AH ADALAH TANDA-TANDA MUNAFIK

Dari Abu Ahwash diriwayatkan dari Abdullah t beliau bersabda :

“Barangsiapa yang nanti (di hari kiamat) ingin berjumpa Allah dalam keadaan muslim maka hendaklah ia menjaga sholat lima waktu (dengan berjama’ah di masjid) saat datang panggilan (adzan), karena Allah mensyari’atkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah yang memberikan hidayah. Dan sesungguhnya sholat lima waktu (berjama’ah di masjid) adalah bagian dari sunnah itu”.

"Maka seandainya kalian sholat di rumah kalian seperti orang yang menyelisihi sunnah Nabi ini (orang-orang munafik) yang sholat di rumahnya, itu berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian e. Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian e kalian pasti akan tersesat”.

“Tidaklah seorang laki-laki berwudhu’ dan ia menyempurnakan wudhu’ nya itu lalu bersegera berangkat ke salah satu masjid di antara masjid-masjid Allah kecuali Allah tuliskan baginya pada setiap satu langkah kakinya satu kebajikan, mengangkatnya satu derajat, menghapuskan satu dosa dan sungguh aku sudah menyaksikan (keadaan) kami (seperti itu)”.

“Dan tidaklah seseorang meninggalkan hal ini (sholat berjama’ah 5 waktu di masjid) kecuali ia termasuk orang munafik yang jelas sekali kemunafikannya” (HR Muslim)

SHOLAT JAMA’AH ISYA’ DAN SHUBUH ADALAH SHOLAT YANG PALING BERAT BAGI ORANG MUNAFIK

Dari Abu Hurairah beliau berkata : Rasulullah bersabda :

"Tidak ada sholat yang lebih berat untuk dilakukan oleh orang munafik melebihi sholat Isya’ dan Shubuh (berjama’ah di masjid). Padahal seandainya mereka tahu keutamaan yang Allah siapkan bagi mereka (sebagai imbalan dari sholat tersebut), pastilah mereka akan bersusah payah berangkat ke masjid untuk berjama’ah walaupun mereka harus merangkak. Sungguh aku sangat ingin memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat lalu aku suruh salah seorang dari kalian untuk mengimami sholat jama’ah sedangkan aku akan pergi mengambil obor untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau datang ke masjid untuk sholat berjama’ah (HR Bukhari)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim beliau bersabda :

“Sesungguhnya sholat yang paling berat untuk dilakukan oleh orang munafik adalah sholat Isya’ dan Shubuh (berjama’ah di masjid). Padahal seandainya mereka tahu keutamaan yang Allah siapkan bagi mereka (sebagai imbalan dari sholat tersebut), pastilah mereka akan bersusah payah berangkat ke masjid untuk berjama’ah walaupun mereka harus merangkak. Sungguh aku sangat ingin memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat lalu aku suruh salah seorang dari kalian untuk mengimami sholat jama’ah sedangkan aku akan mengajak orang untuk membawa kayu bakar yang menyala untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau datang ke masjid untuk sholat berjama’ah (HR Muslim)

HANYA ORANG YANG MEMAKMURKAN MASJID YANG BERHAK DISEBUT ORANG BERIMAN DAN YANG MENDAPAT HIDAYAH

إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ [التوبة/18]

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah (yang berhak disebut) orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian (kiamat), serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS At Taubah 18)

TUJUH GOLONGAN YANG AKAN MENDAPAT NAUNGAN ALLAH DI HARI KIAMAT NANTI

Dari Abu Hurairah t beliau berkata : Rasulullah bersabda :

“Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah Azza Wa Jalla pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya : (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Rabb nya, (3) hamba Allah yang hatinya selalu terpaut ke masjid-masjid Allah, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah di atas (jalan) Allah, (5) laki-laki yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan terhormat (bangsawan) tetapi ia berkata : “Aku takut kepada Allah”, (6) hamba Allah yang berinfaq dengan sembunyi-sembunyi sehingga ketika tangan kanannya berinfaq tangan kirinya tidak mengetahuinya dan (7) hamba Allah yang menyendiri untuk mengingat Allah (berdzikir dan beribadah) lalu kedua matanya basah dengan airmata” (HR Bukhari dan Muslim)

Diambil dari sebuah catatan Abu Izzuddin

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates