Tadi malam saya sempat menyaksikan diskusi (baca: debat) di salah
satu TV lokal Semarang, narasumbernya dari berbagai ormas Islam yang cukup
familiar di negeri ini. Sayang sekali diskusi (debat) yang harusnya mencari
solusi tersebut malah lebih cenderung menghakimi salah satu ormas
"baru" yang dianggap "membahayakan" persatuan dan kesatuan
kaum muslimin di Indonesia. Ada satu momen yang perlu saya garis bawahi, dan
masih sangat jelas dalam ingatan saya saat dimana salah satu tokoh ormas—yang meng-klaim
sebagai "omas besar" dan memiliki pengikut yang banyak—mengatakan
kepada kubu yang lain dengan perkataan yang sungguh tidak pantas diucapkan oleh
seorang panutan umat. Dia,tokoh ormas tersebut,berkata kepada ormas “baru” itu “mereka
ini anak kemarin sore dan belum lama ngaji, tahu apa mereka?”
tidak hanya itu, dia juga berulang kali memotong pembicaraan
pihak lain yang sedang berusaha mengklarifikasi pertanyaan-pertanyaan dari
pembawa acara dengan kalimat-kalimat yang semakin menunjukkan kalau dia
berbicara atas dasar nafsu semata. Sungguh sangat tidak layak dan sangat jauh
dari akhlak para ulama-ulama generasi terbaik umat ini yaitu generasi para
shahabat dan tabi’in dimana mereka—para shahabat dan tabi’in—lebih mengedepankan
sifat lemah lembut dan menghargai pendapat orang lain sekalipun usianya jauh
lebih muda darinya.
Masih ingatkah kita kisah amirul mukminin Umar bin Abdul
Aziz dengan putranya (Abdul Malik)? Ketika itu beliau (Umar bin Abdul Aziz) dalam
keadaan luar biasa lelah setelah seharian berurusan dengan urusan kaum
muslimin. Sesampainya di rumah beliau hendak qailulah (tidur sejenak
menjelang dzuhur) untuk mengurangi sedikit rasa lelahnya. Namun seketika itu
juga datanglah Abdul Malik dan berkata, “Apakah ayah hendak tidur sebelum
mengembalikan hak orang-orang yang dizalimi?” Amirul mukminin menjawab, “Wahai
anakku, aku telah begadang semalaman untuk mengurus pemakaman pamanmu Sulaiman,
nanti jika tiba waktu dhuhur aku akan shalat bersama manusia dan akan aku
kembalikan hak orang-orang yang dizalimi kepada pemiliknya, insya Alloh.”
kemudian Abdul Malik berkata lagi, “Siapa yang menjamin bahwa Anda masih hidup
hingga datang waktu dhuhur wahai amirul mukminin?”. Seketika itu juga Umar bin
Abdul Aziz terhenyak dan hilanglah semua rasa kantuk yang ada pada diri beliau,
kembaililah semua kekuatan dan tekad pada jasadnya yang telah lelah, beliau
berkata “Mendekatlah engkau Nak, segala puji bagi Alloh yang telah mengeluarkan
dari tulang sulbiku seorang anak yang dapat membantu melaksanakan agamaku.”
Sungguh betapa luar biasanya akhlak seorang ayah sekaligus seorang
pemimpin umat yang mau mendengarkan dan melaksanakan nasihat “anak kemarin sore”
yang tidak lain adalah putranya sendiri, Abdul Malik. Hal itu membuktikan bahwa
beliau (Umar bin Abdul Aziz) adalah pribadi yang jujur terhadap kebenaran dan
membuang jauh-jauh sifat sombong yang senantiasa menolak kebenaran karena alasan
ini dan itu. Shahabat ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu pernah berkata :
إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ,
اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenali melalui orang-orang, namun
kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenali orang-orangnya”.
Jadi, apa yang salah dengan “anak kemarin sore” jika yang mereka katakan
dan suarakan adalah kebenaran, tentunya kebenaran yang bersumber dari Al Quran
dan Sunnah yang shahih.
wallohu a’lam bisshowab.