Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Hukum Mengadzani Bayi yang Baru Lahir


Mengadzani bayi yang baru lahir merupakan perbuatan yang diperselihkan para ulama, diantara mereka ada yang membolehkan berdasarkan hadits-hadits dibawah ini:

جاء من طريق عاصم بن عبيد الله عن عبيد الله بن أبي رافع عن أبيه قال: (رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة) [أخرجه الترمذي, وأبو داود, وأحمد]

Telah datang dari jalan ‘Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari ayahnya berkata: (aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengadzani ditelinga Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya) [Hadits dikeluarkan Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad] Abu Isa (Turmudzi) berkata: “ ini hadits hasan shahih “ Namun ini perlu diteliti, karena riwayat ini hanya dari jalannya ‘Ashim dari Ubaidillah dan kebanyakan para ulama melemahkannya. Ibnu Uyainah berkata: “dahulu para masyayikh berhati-hati dari haditsnya ‘Ashim bin Ubaidillah”. ‘Ali bin Madini berkata: “aku mendengar Abdur Rahman bin Mahdi sangat mengingkari haditsnya ‘Ashim bin Ubaidillah”. Abu Hatim berkata: “dia adalah mungkar haditsnya, serta penuh pergolakan, tidak memiliki hadits yang dijadikan sandaran”. An-Nasaie berkata: kami tidak mengetahui bahwa Malik meriwayatkan dari seseorang yang terkenal lemah kecuali dari ‘Ashim bin Ubaidillah sebab beliau meriwayatkan satu hadits darinya”.

وأخرج البيهقي في الشعب من حديث الحسن بن علي عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (من ولد له مولود فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى, رفعت عنه أم الصبيان).

Dan begitu juga dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari haditsnya Hasan bin Ali dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: (barang siapa yang dikaruniai anak lalu mengadzaninya ditelinga kanannya dan mengqamatinya ditelinga kirinya, maka jin perempuan tidak akan mengganggunya).

وأخرج أيضاً من حديث أبي سعيد عن ابن عباس: (أن النبي صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد وأقام في أذنه اليسرى).

Demikian pula dikeluarkan dari haditsnya Abu Sa’id dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma: (bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam mengadzani ditelinga Hasan bin Ali dihari kelahirannya dan mengqamati ditelinga kirinya). Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “pada sanad keduanya lemah”[ Tuhfatul Wadud Fii Ahkaamil Maulud hal: 21]. Demikian pula diriwayatkan dalam Musnad Abi Ya’laa Al Maushili dari Husain dengan sanad marfu’. Al Manawi berkata dalam “Syarah Jami’ Shaghir”: sanadnya lemah. Diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau: “dahulu mengadzani ditelinga kanan, dan qamat ditelinga kiri apabila dikaruniai anak”. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “ Talkhishul Habir”: saya tidak melihatnya secara musnad darinya, dan Ibnu Mundzir telah menyebutkan darinya, dan telah diriwayatkan darinya secara marfu’, Ibnu Sunni telah mengeluarkannya dari haditsnya Husain bin Ali dengan lafadz: (barang siapa yang dikaruniai anak lalu mengadzaninya ditelinga kanannya, dan mengkamatinya ditelinga kirinya tidak akan diganggu oleh Ummu Shibyan) yaitu: jin wanita yang mengikutinya.[4/273]. Al Hafidz Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri rahimahullah berkata: “perkataannya: amal sesuai dengannya” yakni: sesuai dengan hadits Abu Rafi’ mengenai adzan ditelinga anak yang baru dilahirkan. Jika anda katakan: bagaimana amal sesuai dengannya padahal haditsnya lemah, karena dalam sanadnya: ada ’Ashim bin Ubaidillah sebagaimana anda tahu ? saya katakana: benar dia lemah, akan tetapi dia menjadi kuat dengan haditsnya Husain bin Ali radhiallahu anhuma yang diriwayatkan Abu Ya’laa Al Maushili dan Ibnu Sunni “. [Tuhfatul Ahwadzi: 5/91]. Maka menurut perkataan Al Mubarakfuri menjadi jelas bahwa haditsnya menjadi kuat, oleh karena itu kami tidak mahu meninggalkan amal tersebut karena ada hikmah yang besar dibalik itu. Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “dan rahasia mengadzani bayi, Wallahu A’lam: yaitu supaya yang didengarkan manusia pertama kali adalah ucapan yang mengandung kebesaran Rabb dan keagunganNya serta syahadat yang pertama kali memasukkanya kedalam islam, jadi ibarat mentalqinkannya tentang syiar islam ketika memasuki dunia, sebagaimana dia ditalqin ketika keluar dari dunia, dikarenakan juga sampainya pengaruh adzan kedalam hatinya tidak dan kesan adzan pada dirinya tidak dipungkiri, meskipun dirasakan ada faedah lain dalam hal itu, yaitu larinya setan dari kalimat adzan, dimana setan senantiasa menunggunya kelahirannya, lalu menyertainya karena takdir Allah dan kehendakNya, maka dengan itu setan yang menyertainya mendengar sesuatu yang melemahkannya dan membuatnya marah sejak pertama mengikutinya. Dalam hal itu ada hikmah lain yaitu supaya seruan kepada Allah dan agama islam serta ibadahnya mendahului dakwahnya setan. Sebagaimana Allah telah Menciptakannya diatas fitrah tersebut untuk mendahului perubahan yang dilakukan setan kepadanya, serta hikmah-hikmah lainnya” [Tuhfatul Wadud Fii Ahkamil Maulud: 21-22]. Namun sebagian ulama seperti Syaikh Albani rahimahullah walaupun sebelumnya sempat menghasankan hadits diatas, namun karena beliau menemukan bahwa hadits yang menguatkannya tidak lebih kuat bahkan palsu, maka beliau menarik kembali pendapatnya dan melemahkan hadits mengadzani bayi tersebut. Jadi yang mengamalkannya berpegang kepada pendapat sebagian ulama diatas dan yang tidak mengamalkannya juga ada hujahnya dari sebagian ulama. Wallahu A’lam.
source: muslimdaily

Menikah Lewat Telepon, Bolehkah?

Assalamu'alaikum Ustadz ....

saya sedang bekerja jadi TKW di Honkong, masa kontrak saya masih 2 tahunan
sementara saya punya kenalan di Solo
kami berdua sudah saling cinta dan berjanji langsung akan menikah setelah kontrak saya habis.

masalahnya, sudah dua bulan ini saya sudah gak sabar dan was-was
saya termasuk orang pencemburu
karena itu, agar menenangkan kami berdua
kami mengusulkan untuk menikah melalui telepon. Setidaknya meski kami tidak bertemu,
kami bisa tenang dan sudah syah sebagai suami-istri
bolehkan saya lakukan hal seperti ini dalam Islam??

Jawabannya Silakan diunduh disini

Bolivia Akui Negara Palestina


Bolivia mengumumkan hari Jumat (17/12) pengakuannya atas negara Palestina yang berkedaulatan penuh dengan perbatasan tahun 1967.

Presiden Evo Morales mengumumkan hal tersebut di Brasil saat menghadiri pertemuan regional. Demikian keterangan dari Kementerian Luar Negeri Bolivia menyebutkan.

"Bolivia mengakui negara Palestina dengan perbatasan tahun 1967, seperti halnya Brasil dan Argentina," ujar Morales.

Di Ramallah, Kementerian Luar Negeri Otorita Palestina mengatakan, mereka terus berupaya mendapatkan pengakuan dari negara-negera Amerika Latin.

Presiden Mahmoud Abbas menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kerjasama bilateral kedua negara. Keterangan resmi menyebutkan, Presiden Bolivia telah menelepon Abbas tiga hari sebelum pengumuman dilakukan.

Sementara itu, Norwegia hari Rabu meningkatkan kantor perwakilan Palestina di Oslo menjadi misi diplomatik guna mendukung pendirian negara Palestina.

Oslo mengumumkan hal tersebut ketika PM Salam Fayyad berada di Oslo, di mana para pejabat mengumumkan bahwa konferensi negara donor internasional akan berlangsung di kota itu bulan April 2011. [di/maan/hidayatullah.com]

Bolehkah Mengucapakan Selamat Natal?

Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca : cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias ‘boleh-boleh saja’). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.

Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur’an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan —dengan izin-Mu—

Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni ini, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.

Fatwa Pertama — Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Natal Bersama

Berikut adalah fatwa ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah, dari kumpulan risalah (tulisan) dan fatwa beliau (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin), 3/28-29, no. 404.

Beliau rahimahullah pernah ditanya,

“Apa hukum mengucapkan selamat natal (Merry Christmas) pada orang kafir (Nashrani) dan bagaimana membalas ucapan mereka? Bolehkah kami menghadiri acara perayaan mereka (perayaan Natal)? Apakah seseorang berdosa jika dia melakukan hal-hal yang dimaksudkan tadi, tanpa maksud apa-apa? Orang tersebut melakukannya karena ingin bersikap ramah, karena malu, karena kondisi tertekan, atau karena berbagai alasan lainnya. Bolehkah kita tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam perayaan ini?”

Beliau rahimahullah menjawab :

Memberi ucapan Selamat Natal atau mengucapkan selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca : ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya ‘Ahkamu Ahlidz Dzimmah’. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.

Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” —Demikian perkataan Ibnul Qoyyim rahimahullah

Dari penjelasan di atas, maka dapat kita tangkap bahwa mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. Alasannya, ketika mengucapkan seperti ini berarti seseorang itu setuju dan ridho dengan syiar kekufuran yang mereka perbuat. Meskipun mungkin seseorang tidak ridho dengan kekufuran itu sendiri, namun tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk ridho terhadap syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat pada syiar kekafiran lainnya karena Allah Ta’ala sendiri tidaklah meridhoi hal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az Zumar [39] : 7)

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5] : 3)

Apakah Perlu Membalas Ucapan Selamat Natal?

Memberi ucapan selamat semacam ini pada mereka adalah sesuatu yang diharamkan, baik mereka adalah rekan bisnis ataukah tidak. Jika mereka mengucapkan selamat hari raya mereka pada kita, maka tidak perlu kita jawab karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala. Hari raya tersebut boleh jadi hari raya yang dibuat-buat oleh mereka (baca : bid’ah). Atau mungkin juga hari raya tersebut disyariatkan, namun setelah Islam datang, ajaran mereka dihapus dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran Islam ini adalah ajaran untuk seluruh makhluk.

Mengenai agama Islam yang mulia ini, Allah Ta’ala sendiri berfirman,

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imron [3] : 85)

Bagaimana Jika Menghadiri Perayaan Natal?

Adapun seorang muslim memenuhi undangan perayaan hari raya mereka, maka ini diharamkan. Karena perbuatan semacam ini tentu saja lebih parah daripada cuma sekedar memberi ucapan selamat terhadap hari raya mereka. Menghadiri perayaan mereka juga bisa jadi menunjukkan bahwa kita ikut berserikat dalam mengadakan perayaan tersebut.

Bagaimana Hukum Menyerupai Orang Nashrani dalam Merayakan Natal?

Begitu pula diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan (yang disimbolkan dengan ‘santa clause’ yang berseragam merah-putih, lalu membagi-bagikan hadiah, pen) atau sengaja meliburkan kerja (karena bertepatan dengan hari natal). Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim mengatakan,

“Menyerupai orang kafir dalam sebagian hari raya mereka bisa menyebabkan hati mereka merasa senang atas kebatilan yang mereka lakukan. Bisa jadi hal itu akan mendatangkan keuntungan pada mereka karena ini berarti memberi kesempatan pada mereka untuk menghinakan kaum muslimin.” —Demikian perkataan Syaikhul Islam—

Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini maka dia berdosa, baik dia melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya. Perbuatan seperti ini termasuk cari muka (menjilat), namun agama Allah yang jadi korban. Ini juga akan menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga dengan agama mereka.

Allah-lah tempat kita meminta. Semoga Allah memuliakan kaum muslimin dengan agama mereka. Semoga Allah memberikan keistiqomahan pada kita dalam agama ini. Semoga Allah menolong kaum muslimin atas musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Mulia.

Fatwa Kedua — Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka

Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/29-30, no. 405.

Syaikh rahimahullah ditanya : Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?

Beliau rahimahullah menjawab :

Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim no. 2167)

Adapun dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena dulu ketika kecil, Yahudi tersebut pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam.

Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untukmenyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.

Fatwa Ketiga — Merayakan Natal Bersama

Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.

Pertanyaan : Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar’i yang membolehkan hal ini?

Jawab :

Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah berfirman,

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)

Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, pengikut dan sahabatnya.

Ketua Al Lajnah Ad Da’imah : Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz.

Saatnya Menarik Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan :

Pertama, Kita —kaum muslimin— diharamkan menghadiri perayaan orang kafir termasuk di dalamnya adalah perayaan Natal. Bahkan mengenai hal ini telah dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia sebagaimana dapat dilihat dalam fatwa MUI yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1981.

Kedua, Kaum muslimin juga diharamkan mengucapkan ‘selamat natal’ kepada orang Nashrani dan ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim.

Jadi, cukup ijma’ kaum muslimin ini sebagai dalil terlarangnya hal ini. Yang menyelisihi ijma’ ini akan mendapat ancaman yang keras sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’ [4] : 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka.

Oleh karena itu, yang mengatakan bahwa Al Qur’an dan Hadits tidak melarang mengucapkan selamat hari raya pada orang kafir, maka ini pendapat yang keliru. Karena ijma’ kaum muslimin menunjukkan terlarangnya hal ini. Dan ijma’ adalah sumber hukum Islam, sama dengan Al Qur’an dan Al Hadits. Ijma’ juga wajib diikuti sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa ayat 115 di atas karena adanya ancaman kesesatan jika menyelisihinya.

Ketiga, jika diberi ucapan selamat natal, tidak perlu kita jawab (balas) karena itu bukanlah hari raya kita dan hari raya mereka sama sekali tidak diridhoi oleh Allah Ta’ala.

Keempat, tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir untuk mengucapkan selamat hari raya.

Kelima, membantu orang Nashrani dalam merayakan Natal juga tidak diperbolehkan karena ini termasuk tolong menolong dalam berbuat dosa.

Keenam, diharamkan bagi kaum muslimin menyerupai orang kafir dengan mengadakan pesta natal, atau saling tukar kado (hadiah), atau membagi-bagikan permen atau makanan dalam rangka mengikuti orang kafir pada hari tersebut.

Demikianlah beberapa fatwa ulama mengenai hal ini. Semoga kaum muslimin diberi taufiko oleh Allah untuk menghindari hal-hal yang terlarang ini. Semoga Allah selalu menunjuki kita ke jalan yang lurus dan menghindarkan kita dari berbagai penyimpangan. Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘alihi wa shohbihi wa sallam.

Diselesaikan pada siang hari, di rumah mertua tercinta, Panggang-Gunung Kidul, 18 Dzulhijah 1429 H.

Yang membutuhkan ampunan dan rahmat Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal (rumaysho.com/muslim.or.id)_eramuslim

Hukum Minum sambil berdiri

Pak ustadz, ada yg ingin saya tanyakan tentang pendapat sebagian ulama yg melarang seseorang minum sambil berdiri.

Sebelumnya saya ingin menyampaikan sebuah atsar atau apapun istilahnya (dan saya lupa yg meriwayatkannya) yg berbunyi kurang lebih seperti berikut:

Ali bin Abi Thalib pernah minum berdiri. Sahabat2 Ali melihat Ali minum saat berdiri dan mereka menganggap Ali berperilaku aneh. Ali pun berkomentar"saya minum ketika duduk karena saya melihat Rasulullah minum ketika duduk dan saya minum sambil berdiri karena saya pernah melihat Rasulullah minum sambil berdiri".

Atsar tersebut sepertinya bertentangan dgn:

1. pendapat yg mengatakan bahwa Rasulullah pernah minum sambil berdiri hanya dalam keadaan uzur dimana saat itu beliau shallallahu 'alaihi wasallam berada di ka'bah dan berdesakan sehingga tdk memungkinkan beliau untuk duduk (saya tdk tahu apakah pandangan ini didasarkan atas dalil yg shahih).

2. dua hadits berikut:

Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri, Qotadah berkata:”Bagaimana dengan makan?” beliau menjawab: “Itu lebih buruk lagi”. (HR.Muslim dan Turmidzi)

Bersabda Nabi dari Abu Hurairah,“Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” (HR. Muslim)

Pertanyaan saya: Ali tetap minum sambil berdiri (walaupun org2 disekitarnya melihatnya dengan aneh) dan ia sepertinya mengganggap bahwa minum sambil berdiri bukan utk orang yg uzur. Seandainya minum sambil berdiri dilarang, apakah Ali akan berkata seperti kutipan di atas? Atau, mungkinkah ia radiyallahu 'anhu tdk mengetahui adanya hadits yg melarang seseorang minum sambil berdiri?

Mohon penjelasannya pak ustadz. Jazakallhu khairan katsiira.

Herbono Utomo, Kalimantan

Jawaban : Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Hadist tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya seperti berikut :

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَيْسَرَةَ سَمِعْتُ النَّزَّالَ بْنَ سَبْرَةَ يُحَدِّثُ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّهُ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ قَعَدَ فِي حَوَائِجِ النَّاسِ فِي رَحَبَةِ الْكُوفَةِ حَتَّى حَضَرَتْ صَلَاةُ الْعَصْرِ ثُمَّ أُتِيَ بِمَاءٍ فَشَرِبَ وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَذَكَرَ رَأْسَهُ وَرِجْلَيْهِ ثُمَّ قَامَ فَشَرِبَ فَضْلَهُ وَهُوَ قَائِمٌ ثُمَّ قَالَ إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُونَ الشُّرْبَ قِيَامًا وَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُ


Artinya : Dikatakan kepada kami oleh Adam berkata; dikatakan kepada kami oleh Syu'bah berkata; dikatakan kepada kami oleh Abdul Malik bin Maisarah berkata : aku mendengar An-Nazzal bin Sabrah bercerita tentang Ali -radhiallahu 'anhu- bahwa ketika itu setelah sholat dhuhur dia duduk diantara orang-orang di Kufah (untuk membantu kebutuhan-kebutuhan mereka) sampai datangnya waktu ashar. kemudian diberikan kepadanya air maka beliau meminumnya dan mencuci muda dan tangannya, disebutkan juga mencuci kepada dan kakinya, kemudian berdiri dan meminum sisa air itu dalam keadaan berdiri. kemudian berkata : sesungguhnya orang-orang membenci untuk minum berdiri, dan sesungguhnya Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- pernah berbuat sebagaimana yang aku perbuat.

Hadist ini menunjukkan bahwa minum sambil berdiri adalah mubah/diperbolehkan. karena Ali mengatakan bahwa Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- juga pernah berbuat sebagaimana yang dia perbuat yaitu minum sambil berdiri.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fath Al-Bari fi Syarh Shohih Al-Bukhori tentang diperbolehkannya minum sambil berdiri (tanda udzur) sebagaimana itu adalah pendapat kebanyakan ulama.

Adapun hadist-hadist yang menandakan pelarangan minum sambil berdiri begitu juga makan, itu pelarangan jika sekelompok orang diberikan air, dan salah seorang berdiri untuk meminum terlebih dahulu sebelum yang lain. begitu Ibnu Hajar menjelaskan.

beliau melanjutkan : "adapun hadist yang memerintahkan untuk memuntahkan, tidak ada perbedaan diantara para ulama bahwa memuntahkan kembali tidaklah wajib bagi orang yang minum berdiri. sebagian ulama mengatakan : hadist itu mauquf (hanya sampai) Abu Hurairah (perkataan Abu Hurairah)."

Adapuan hadist Anas yang mengandung pelarangan makan sambil berdiri, maka para ulama tidak ada yang berbeda pendapat bahwa makan sambil berdiri adalah mubah/boleh. dan pendapat paling kuat adalah mubah/bolehnya minum sambil berdiri.

Sedangkan hadist-hadist tentang pelarangan minum sambil berdiri mengkabarkan akan sesuatu yang lebih baik dan utama yaitu minum dengan duduk, juga ditakutkan dalam minum sambil berdiri akan menyebabkan sakit.

Kesimpulan : Minum sambil berdiri adalah mubah/boleh dalam keadaan apapun, begitu juga makan. memuntahkan air yang diminum sambil berdiri tidaklah wajib. dan pelarangan minum sambil berdiri tidak menandakan pengharamannya akan tetapi lebih pada persoalan adab.

# Rujukan
Fath Al-Bari fi Syarh Shohih Al-Bukhori
artikelislami.com

Remora


Tak banyak penghuni laut yang bisa sebebas ikan remora. Kemana pun remora pergi, ia selalu merasa aman. Jangankan ikan sedang seukuran dirinya, ikan besar pun tidak akan berani mendekat.

Itu bukan karena remora besar dan gagah. Bukan juga karena ikan yang hampir seukuran tenggiri ini punya racun yang mematikan. Jawabannya sederhana, remora selalu bersama pemangsa paling ditakuti seisi penghuni laut, hiu. Kemana pun hiu pergi, seperti apa pun hiu bertingkah, di situlah dan begitulah keadaan remora.

Suatu kali, remora tampak mendekati seekor penyu tua yang asyik memandangi kesibukan bawah laut. ”Hai Pak Tua! Kenapa kamu tidak berenang menikmati hangatnya laut siang? Takut, ya?” ucap remora agak menyombongkan diri.

Sang penyu tua menoleh ke arah remora, kemudian ia tersenyum. ”Aku tidak takut, remora. Aku justru sedang menikmati keindahan laut dengan caraku yang seperti ini?” jawab si penyu tua. ”Apa kamu mau bergabung denganku?” tambah sang penyu kemudian.

”Ah, dasar penyu tua! Mana sempat aku bersamamu, aku harus selalu bersama bosku, kemana pun dia pergi. Di situ aku bisa dapat keamanan, dan dengan begitu pula aku bisa dapat makanan,” jawab remora mulai agak bergegas.

”Tunggu dulu remora. Dalam hatimu yang paling dalam, apa kamu tidak merasa bersalah selalu bersama makhluk pembunuh paling ganas di lingkungan kita?” ucap sang penyu tua, agak serius.

”Ah, Pak Tua. Kalau kita ingin tetap hidup, lupakan yang namanya damai dan kejam,” jelas remora ringan. Dan remora pun mulai pergi menuju arah sang hiu.

”Hai remora!” teriak sang penyu tua ke arah remora. ”Satu hal yang kamu lupa!” ucap sang penyu tua.

Penasaran dengan apa yang diucapkan si penyu tua, remora pun berenang mendekat ke arah penyu tua, ”Apa, Pak Tua?”

”Satu hal yang kamu lupa, apa kamu juga akan ikut mati, kalau bosmu mati?” ucap sang penyu tua memberikan isyarat agar tak perlu dijawab.

**
Dalam dunia persaingan, baik individu maupun organisasi, ada orang atau pihak yang mengambil strategi berada di bawah bayang-bayang yang besar, kuat, dan ditakuti.

Dari segi ongkos tenaga dan biaya, orang atau pihak ini merasa tak perlu mengeluarkan banyak hal, tapi bisa meraih berbagai hal: keamanan, gengsi, dan sejumlah makanan, walaupun sisa.

Yang harus ia lakukan sangat sederhana: selalu mengikuti kemana pun sang bos pergi, dan bertingkah sebagaimana bos bertingkah, tanpa perduli apa kata nilai dan nurani.

Namun, kadang mereka lupa. Bahwa, dengan mengambil langkah itu, ia tidak akan pernah lebih besar dari sang bos. Dan seperti yang diucapkan penyu tua kepada remora, bagaimana jika sang bos tidak bisa lagi diikuti untuk selamanya? (muhammadnuh@eramuslim.com)_eramuslim

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates